KONTRADIKSI BATASAN USIA DALAM HUKUM INDONESIA
Oleh : Moh. Fernanda Gunawan
Justitia Representative Student (JATEAM)
Ketidakpastian dalam menetapkan pembatasan usia dalam hukum merupakan masalah yang cukup besar dan tentu membingungkan masyarakat ketika ingin menjalankan peraturan yang tertulis, sedangkan peraturan tersebut terdapat kontradiksi. Usia mempunyai peranan yang cukup penting, dan usia juga merupakan tolak ukur seseorang dikatakan dewasa, kedewasaan ini lah yang terkadang menjadi bahan pertimbangan untuk berlakunya ketentuan-ketentuan hukum berlaku. Banyaknya putusan pengadilan yang tidak seragam mengenai usia dewasa mewarnai sistem hukum di Indonesia, seperti halnya yang saya kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP, ada yang berpegang teguh untuk usia 21 tahun pada PN Jakarta Pusat No. 1138/Pdt.P/1987 PNJKT.PST ttgl.22-12-1987; MA No. 59 K/AG/2007, ttgl. 6 Juni 2007; Pengadilan Agama Malang No.482/Pdt.G/2008/Pa.Mlg, ttgl 22 Mei 2008 Pengadilan Agama Wonosari No. 0432/Pdt.G/2008/PA.Wno, ttgl. 5-8-2008; MA No. 95 K/AG/2009, ttgl. 17-04-2009; MA No.294 K/AG/2009, ttgl. 16-06-2009, ttgl. 17-04-2009; MA No. 294 K/AG/2009, ttgl. 16-06-2009, Kompilasi Hukum Islam pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “Batasan usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”[1], Sebagaimana isi dalam Kompilasi Hukum Islam yang dikatakan usia dewasa adalah ketika berumur 21, belum menikah dan tidak cacat fisik maupun mental. Ada juga yang berpegang di umur 18 tahun pada PN Jakarta Utara No.1530/Pdt/1987/PN, ttgl. 5-11-1987[2].. Dari uraian tersebut, kita bisa menyimpulan bahwasanya Indonesia belum mempunyai peraturan yang spesifik yang memastikan batas usia dewasa untuk bertindak dalam hukum. Batasan usia dewasa memang sudah di atur, tetapi undang-undang yang ada tidak menyebutkan secara tegas terkait dengan batasan usia tersebut. Hal ini disebabkan karena pada zaman dulu, batasan usia dewasa ini di atur oleh BW (Burgeljk Wetboek) / KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa, Timur Asing, dan China , dan secara umum dimulai di Indonesia pada tahun 1905[3], dilandaskan dengan Pasal 330 BW yang berbunyi “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumya . Bila perkawinan dibubarkan, sebelum mereka genap berumur dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa”. Menurut pandang BW, usia dewasa dikatakan ketika anak tersebut berusia 21 tahun, tetapi, di sisi lain, banyak peraturan seperti UU Perkawinan yang membatasi usia untuk pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, sedangkan untuk UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa yang dikatakan anak adalah di bawah 18 tahun, dua regulasi tersebut juga merupakan contoh tentang regulasi yang bertolak belakang dengan Pasal 330 BW yang ada, selain itu juga masih ada beberapa peratruan lainnya.
Menurut saya, adanya kontradiktif pada peraturan batasan usia menggambarkan bahwa Pemerintah belum mempunyai ketegasan regulasi yang bisa dijadikan tolak ukur untuk produk hukum lainnya menentukan batasan usia dewasa. Hal ini disebabkan karena Indonesia belum mencabut ketentuan pada Pasal 330 BW mengenai usia dewasa, pengadilan pun masih mempraktikan pasal tersebut, tetapi, undang-undang yang berlakupun tak tegas untuk mengatur batasan usia. Burgerliijk Wetboek (BW) yang membatasi usia dewasa 21 tahun di nilai sudah tidak relevan, karena BW berlaku di Indonesia secara umum pada tahun 1905[4]. Tentu tingkat kemampuan berpikir pada saat itu sangat terbatas dan alat telekomunikasi pun jarang mereka dapatkan, sehingga Pasal 330 BW menilai bahwa usia 21 tahun merupakan sosok yang menyadari mana yang baik dan mana yang buruk, dibanding dengan pola berpikir usia 18 tahun sekarang yang sudah bisa mengakses informasi dari berbagai sumber, tentu hal ini berpengaruh pada pola pikir mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa pasal 330 BW terkait usia dewasa dinilai sudah tidak relevan jika dipraktikan di zaman sekarang. Saya tertarik dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963[5] yang ditandatangani Ketua MA saat itu , R.Wirjono Prodjodikoro, S.H., SEMA itu berisi tentang pencabutan beberapa pasal BW seperti Pasal 108 dan 110 BW, Pasal 128 Ayat (3) BW, dan beberapa pasal lain. Di dalam SEMA tersebut, terdapat gagasan dari Menteri Kehakiman saat itu Sahardjo, S.H. yang menanggap BW tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, tidak terekspose dengan baik[6]. Namun Pasal 2 perahlian UUD 45 menegaskan ketentuan lama, termasuk BW masih berlaku di Indonesia, sampai Indonesia memiliki aturan yang baru untuk diterapkan, itu adalah dasar penggunaan BW di Indonesia. Jadi menurut saya, BW hanya kumpulan peraturan sebelum aturan tersebut diatur lebih spesifik di dalam hukum positif.
Atas dasar itu, saya mengusulkan agar pemerintah harus segera menyeragamkan terkait dengan batasan usia dewasa, dan di tuangkan kedalam hukum positif, agar produk hukum lain mempunyai kiblat , dan tidak berpatokan pada Pasal 330 BW yang dinilai sudah tidak relevan ketika ingin membatasi usia, sehingga tidak terjadi kontradiksi dan multitafsir dikalangan masyarakat. Setelah melihat dari beberapa peraturan yang berlaku, juga melihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 13 Oktober 1976 No. 477/K/Pdt menyatakan bahwa BATAS usia dewasa adalah 18 tahun. Jadi, usia 18 tahun di nilai tepat dalam membatasi usia dewasa di Indonesia.
[1] http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/tdTAsFc51315881487.pdf
[2]Ade Maman Suherman, J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Jakarta:NLRP,2010, hlm. 12.
[3] Ibid, hlm. 21.
[4] Op cit, hal. 21.
[5] http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_no_3_tahun_1963.pdf
[6] Op cit, hal. 72.