Etika vs Kebenaran Hukum

Selamat Datang di Justitia Training Center

Selasa (31/1/2017) adalah babak baru munculnya kontroversi kasus Ahok dalam isu yang lain. Kehadiran Ketua Umum MUI dalam persidangan untuk menjadi saksi yang memberatkan bagi Ahok memang menarik perhatian publik dan media.

Keterangannya yang bertentangan dengan kebenaran versi Ahok dan kuasa hukumnya, telah memicu Ahok untuk menunjukkan kebenaran dihadapan majelis hakim dan segenap pengunjung sidang dengan cara “khas” Ahok, yang oleh beberapa kalangan dinilai tidak pantas.

Ukuran ketidakpantasan itu terutama dinilai berdasarkan ketokohan sang saksi. Ia adalah ketua umum MUI, yang darinya sering melahirkan fatwa keagamaan yang berpengaruh luas bagi masyarakat. Ia juga seorang yang menduduki jabatan strategis di PBNU. Ia dikenal luas sebagai tokoh nasional. Oleh karenanya ia pantas dihormati di mana pun termasuk tatkala menjadi saksi dalam sebuah kasus pidana di depan persidangan yang dipimpin sang pengadil.

Isu itu kemudian begitu cepat menyebar luas karena melibatkan juga tokoh nasional yang lain. Ia presiden keenam Indonesia. Ia ketua imum sebuah partai politik yang pernah berkuasa. Ia juga mempunyai pengaruh yang luas. Ia adalah Susilo Bambang Yudoyono yang sering disapa SBY.

Dugaan adanya komunikasi antara SBY dengan ketua umum MUI di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilgub DKI, serentak menjadi isu seksi bagi media. Berbagai spekulasi pun muncul. Ada yang menghubungkan isu itu dengan terbitnya fatwa MUI tentang penistaan agama oleh Ahok. Mendengar hal itu, SBY segera tampil ke muka publik untuk memberikan pernyataan pers. Isu baru tentang legalitas penyadapan pun menyeruak. Tidak tanggung-tanggung, SBY langsung meminta Presiden Jokowi untuk memberikan klarifikasi atas isu penyadapan itu.

Situasi terasa sangat sensitif karena mendadak Luhut Binsar Panjaitan dan Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan mendatangi kediaman ketua umum MUI. Publik menilai bahwa kunjungan pejabat negara tersebut ada kaitannya dengan isu yang sedang hangat cenderung panas setelah sidang Ahok. Hal ini dapat dipandang sebagai reaksi cepat pemerintahan Jokowi-JK mendinginkan suasana.

Pertanyaannya, apa relevansi ini semua dengan proses penegakan hukum terkait dugaan tindak pidana penistaan agama oleh Ahok? Apakah kedudukan, jabatan atau ketokohan seseorang selalu melekat tak terpisahkan, bahkan ketika ia menjadi saksi di depan persidangan? Apakah seorang terdakwa mempunyai hak hukum untuk bertanya dan/atau membantah keterangan seorang saksi yang memberatkan dirirnya di depan persidangan? Apakah penasehat hukum terdakwa mempunyai hak hukum untuk menggali kebenaran materiel dari seorang saksi, sekalipun ia adalah tokoh besar?

Atau apakah karena pertimbangan batasan etika atau kepantasan, kita boleh mengabaikan hak asasi penasihat hukum untuk menggali berbagai informasi dari saksi guna membela kliennya? Di manakah posisi kita sebagai masyarakat yang sadar hukum, apakah mengambil posisi: jabatan, kedudukan sosial dan ketokohan seseorang menjadi jaminan kebenaran; ataukah sebaliknya, bahwa hukum berlaku sama bagi semua orang tanpa kecuali termasuk tatkala sang tokoh menjadi saksi dalam sebuah kasus pidana?

Tentu banyak sekali pertanyaan yang bisa diajukan kepada diri kita sendiri, orang lain yang pantas menjadi tempat untuk bertanya, atau bahkan meminjam syair lagu Ebiet G Ade, yakni bertanya kepada rumput yang bergoyang?

Kebenaran Hukum
Kebenaran hukum adalah segala hal yang oleh hukum dinyatakan sebagai kebenaran. Kebenaran hukum bersifat objektif, imparsial, dan final. Kebenaran hukum dapat lahir berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan putusan hakim terhadap sengketa yang dihadapi oleh para pihak berperkara.

Seseorang yang dituduh melakukan kejahatan misalnya, harus dihukum. Tetapi hukum yang dijatuhkan terhadapnya hanya dianggap benar secara hukum dan moral, jika menurut hukum pelaku terbukti benar telah melakukan kejahatan itu.

Untuk membuktikan adanya kejahatan yang dilakukan oleh tertuduh, maka diperlukan suatu proses pembuktian berdasarkan hukum prosedural yang menjadi patokan dasar atas seluruh proses persidangan di pengadilan.

Setiap negara hukum di dunia pasti memiliki hukum semacam itu. Untuk Indonesia, UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) adalah hukum prosedural yang menjadi rujukan utama dalam mengadili setiap perkara pidana, mulai dari tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan oleh polisi; kemudian proses penuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU) sampai pemeriksaan dan putusan oleh hakim.

JPU sebagai representasi cabang kekuasaaan negara di bidang yudikatif akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan kebenaran atas dakwaannya terhadap si tertuduh/terdakwa. Sebaliknya, tertuduh juga akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa tuduhan JPU adalah tidak benar. Itu sah-sah saja dalam proses persidangan. Hukum bahkan tidak melarang JPU dan tertuduh mempunyai keyakinan akan kebenaran masing-masing. Kebenaran yang diyakini oleh keduanya adalah kebenaran yang bersifat subjektif. Hakimlah yang akan menilai dan mempertimbangkan seluruh fakta hukum berupa keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, dan keterangan terdakwa, untuk kemudian merumuskan keputusannya. Dalam putusan hakimlah terletak kebenaran hukum yang bersifat objektif dan imparsial.

Penilaian dan pertimbangan hakim terhadap seluruh fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya tertuju ke dua arah. Pertama, jika dakwaan dan tuntutan JPU didukung oleh fakta-fakta hukum–yang dengan itu kebenaran dari suatu peristiwa kejahatan terungkap atau terbukti–maka hakim akan memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Konsekuensi hukumnya, terdakwa harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Kedua, jika terdakwa, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, justru mampu membuktikan kebenaran bahwa dirinya bukan merupakan pelaku dari tindak pidana yang didakwakan terhadap dirinya, maka hakim harus menjatuhkan putusan yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan disertai dengan pernyataan hukum yang tegas bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dituntut oleh JPU terhadap dirinya.

Dalam seluruh proses pemeriksaan perkara pidana dalam ruang persidangan, hakim mempunyai kuasa penuh dan mutlak. Ia menjalankan kuasanya berdasarkan asas Ketuhahan Yang Maha Esa. Kekuasaan hakim bersifat independen. Secara normatif, kekuasan hakim tidak boleh diintervensi dengan cara apa pun oleh pihak lain, termasuk oleh pemerintah dan/atau kekuasaan lainnya. Ketika palu sudah diketuk, maka seluruh perdebatan selesai. Apa yang diputuskan oleh hakim adalah sebuah kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Putusan itu pun harus dieksekusi jika sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Etika Bersaksi
Benar bahwa setiap orang mesti beretika. Beretika dalam bertutur kata ketika menjalin komunikasi dengan sesama adalah kewajiban etis bagi setiap orang. Berprilaku etis juga demikian. Kesadaran bahwa setiap orang pantas dihormati dan dihargai sebagai manusia sejati adalah akar etika. Oleh karenanya, ukuran etis sesungguhnya tidak mengenal dan tidak terklasifikasi berdasarkan batasan usia, kedudukan sosial, dan jabatan seseorang.

Seorang bayi sekalipun pantas mendapatkan rasa hormat dan perlakuan yang baik, sama seperti terhadap seseorang yang sudah dewasa. Sebab, penilaian ketidakpantasan secara etis tidak terletak pada orang yang kepadanya tidak diberikan rasa hormat dan penghargaan yang seharusnya dia atau mereka terima, tetapi pada orang yang alpa melakukan kewajiban etis itu. Prinsip hukum bahwa semua orang sama di hadapan hukum (equal before the law) merupakan fondasi etis bagi tatanan hukum pada setiap tempat dan waktu.

Namun, dalam konteks penegakan hukum di dalam ruang sidang peradilan pidana, masalah etika dipandang penting sejauh etika itu menunjang terwujudnya tujuan hukum, yaitu terungkapnya kebenaran hukum yang sejati. Kebenaran hukum yang sejati adalah sebuah kebenaran yang objektif dan imparsial. Dikatakan sebagai kebenaran objektif karena merupakan hasil dari suatu proses peradilan yang fair dan transparan. Imparsial karena proses peradilan itu tidak memihak. Di hadapan pengadilan, semua orang sama tanpa memandang latar belakang suku, agama, keyakinan politik, budaya dan ras.

Ada dua kewajiban seorang saksi ketika memberikan keterangan di depan persidangan. Pertama, kewajiban etis, di mana dalam menjelaskan kejadian yang dilihat, didengar, dan dirasakannya, harus disampaikan dengan sopan serta dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang tidak bersifat menghina siapa pun.

Kedua, kewajiban yuridis, di mana saksi wajib dan hanya boleh menyampaikan keterangan yang benar, tidak lain dari yang sebenarnya. Jika saksi berkata bohong dan mengada-ada, maka ia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atas tuduhan telah memberikan keterangan palsu di depan persidangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 242 Ayat (1) dan (2) KUHP.

Bahwa salah satu bukti yang sangat penting guna mengungkapkan kebenaran materiel dalam kasus pidana adalah saksi. Saksi per definisi Pasal 1 Ayat (26) KUHAP adalah orang yang melihat, mendengar, dan merasakan atau menyaksikan langsung terjadinya suatu peristiwa. Orang yang mendengar adanya suatu kejadian dari apa yang disaksikan, didengar, dan dirasakan oleh orang lain (testimonium de auditu), bukanlah saksi yang sesungguhnya.

Begitu pentingnya keterangan saksi guna membuktikan adanya peristiwa pidana untuk kemudian mengarah pada ditemukannya alasan hukum untuk meminta pertanggungjawaban hukum si terdakwa, maka sebelum saksi memberikan keterangan di hadapan persidangan harus disumpah berdasarkan agama dan keyakinannya terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar saksi hanya memberikan keterangan yang benar tidak lain dari kebenaran, yaitu bahwa saksi melihat peristiwa itu, mendengar peristiwa itu dan merasakan langsung kejadian itu dan ia melihat bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut.

Hak Terdakwa
Setiap orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana di depan persidangan mempunyai hak untuk membela dirinya secara bebas tanpa paksaan dan tekanan dalam bentuk apa pun. Hak terdakwa dalam proses persidangan diatur dan dijamin oleh undang-undang. Hak-hak terdakwa menurut KUHAP adalah (i) hak untuk dibebaskan dari kewajiban membuktian berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent); (ii) berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi; (iii) hak untuk mengajukan saksi ahli yang mempunyai keahlian dan pengetahuan tertentu guna meringankan atau menguntungkan dirinya; (iv) hak untuk mendapatkan persidangan yang adil dan tidak memihak; (v) hak untuk memberikan pembelaan (pleidoi) di depan persidangan; (vi) hak untuk diputus bebas jika tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa; dan (vii) hak untuk melakukan upaya hukum.

Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1948, menegaskan,“Setiap orang, berhak, dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana apapun yang ditujukan terhadapnya.”

Merujuk pada ketentuan KUHAP dan Deklarasi Universal HAM tersebut di atas, dapat dipahami bahwa seorang terdakwa yang diajukan ke meja persidangan pidana tetap mempunyai hak-hak dasar yang harus dihormati oleh siapa pun. Ada dua jenis dari beberapa hak terdakwa yang sangat penting, yaitu hak untuk dianggap tidak bersalah (presumption of innocent) sebelum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum dan hak untuk membela dirinya secara bebas di depan persidangan, termasuk hak untuk menggunakan jasa penasihat hukum guna membela kepentingannya.

Berkaitan dengan polemik yang muncul di tengah masyarakat atas sikap, reaksi, atau bantahan Ahok terhadap keterangan saksi ketua umum MUI dalam persidangan (31/1/2017), yang oleh sebagian kalangan masyarakat dinilai tidak pantas, maka ada beberapa hal yang bersifat esensial yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, secara psikologis, keterangan saksi yang memberatkan terdakwa secara langsung dirasakan oleh terdakwa sebagai terbukanya kemungkinan akan terbuktinya tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Artinya, bahwa hukuman sebagai konsekuensi hukum atas perbuatannya terasa hadir di depan mata.

Kedua, dingin-panasnya reaksi terdakwa terhadap keterangan saksi yang olehnya tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya tergantung pada keyakinan si terdakwa sendiri tentang apakah secara diam-diam dalam hati nuraninya dia mengakui perbuatan yang didakwakan atau tidak. Bagi terdakwa yang mengakui perbuatanannya, cenderung tidak terlalu peduli dengan keterangan saksi-saksi yang memberatkan dirinya.

Ketiga, berkaitan dengan poin pertama dan kedua tersebut di atas, maka untuk mengukur pantas atau tidak pantasnya sikap Ahok terhadap saksi yang memberatkan dirinya, yang kebetulan sebagai ketua umum MUI, pertanyaan etis sekaligus hukum perlu diajukan, yaitu apakah keterangan saksi tersebut benar sesuai dengan peristiwa yang terjadi?

Keempat, jika keterangan saksi itu benar, maka bantahan Ahok terhadapnya dengan cara yang marah atau tidak sopan menjadi terbukti tidak pantas atau tidak etis. Tetapi kalau keterangan saksi tersebut “tidak benar atau tidak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya”, maka reaksi marah Ahok menjadi patut dianggap wajar. Mengapa? Sebab keterangan saksi akan membuka kemungkinan mengantarkan Ahok ke dalam penjara.

Kelima, mengenai pertanyaan apakah SBY pernah berkomunikasi via handphone dengan ketua umum MUI, sama sekali bukan merupakan hal tabu untuk ditanyakan kepada saksi karena hal itu memang relevan dengan perkara pidana itu. Kalau saksi katakan tidak pernah dan itu benar, maka persoalan selesai. Tetapi kalau keterangan itu tidak benar, dan terdakwa atau penasihat hukumnya mempunyai bukti kuat untuk membuktikan hal itu, maka hal itu akan berkonsekuaensi hukum secara pidana atas dugaan memberikan keterangan palsu di depan persidangan. Aturan ini berlaku umum bagi siapa pun tanpa memandang status sosial seseorang.

Keenam, masalah utama yang sebenarnya perlu diketahui oleh publik bukan terutama terletak pada sah atau tidak sahnya penyadapan, tetapi apakah benar ada atau tidak komunikasi itu dan apa isinya. Legalitas penyadapan adalah soal formal, sedangkan isi percakapan soal materiel, dan ini lebih penting bagi kepentingan publik. Jadi, pantaskah Ahok dimarahi dalam soal ini?

Kesimpulan
Dalam proses peradilan pidana, hakim mempunyai wewenang untuk menegur bahkan mengusir siapa pun yang berlaku tidak sopan dalam ruang sidang. Setiap orang yang berlaku tidak tertib dalam ruang sidang bahkan dianggap melakukan penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court). Sejauh benturan etika dengan kebenaran hukum terjadi dalam ruang persidangan pidana, maka kerap terjadi kebenaran hukum lebih diutamakan daripada etika, karena kebenaran hukum adalah tujuan utama dari seluruh proses persidangan pidana, sedangkan etika hanyalah komponen penunjang untuk kelancaran proses persidangan.

sumber: http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/5173-etika-vs-kebenaran-hukum.html

Posted in